Welcome

Welcome to this blog!

Di blog ini Anda dapat mencari artikel-artikel, materi pelajaran bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, Kimia dan Bahasa Indonesia untuk SMP dan SMA.
Anda juga dapat mencari link sekolah maupun perguruan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Seperti misalnya Universitas California, MIT dan sebagainya.
Anda juga dapat mendapatkan informasi tentang bea siswa dalam dan luar negeri.
Bagi yang memiliki materi yang ingin ditayangkan di blog ini kirimkan ke E-Mail saya intankierana@gmail.com .

Terima kasih.

Intan Kirana

Sabtu, 22 Januari 2011

Mikro Alga sebagai Blue Energy

Peneliti Indonesia, Mujizat Kawaroe melakukan penelitian terhadap mikroalga sebagai senyawa dasar pembentuk bahan bakar blue energy. Ia menemukan potensi sumber energi dalam mikroalga atau ganggang mikro, yang selama ini dikenal sebagai salah satu bahan dasar produk kosmetik atau farmasi. Namun, di tangan Mujizat, tumbuhan paling primitif berukuran renik ini baik sel tunggal maupun koloni disulap menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi, yakni sebagai sumber energi terbarukan.



Ketertarikan Mujizat untuk melakukan riset terhadap mikroalga dimulai dua tahun lalu, tatkala pemerintah sedang giat-giatnya meneari energi alternatif. Sebagai seorang yang berkecim-pung di bidang kelautan, Mujizat lantas tergerak untuk menyumbangkan pemikirannya.


Melalui penelusuran literatur, diketahui bahwa bahan bakar minyak dan gas yang ada di dalam perut bumi juga berasal dari tumbuhan yang telah memfosil. Sebagai dosen mata ajaran tumbuhan laut.Mikroalga banyak mengandung lipid atau minyak organik. Dalam salah satu lipid mikroalga ini terdapat hidrokarbon, yaitu senyawa dasar pembentuk bahan bakar. Kandungan lipid dalam mikroalga adalah sebesar 20 persen.



Jumlah lipid dalam mikroalga memang masih bisa ditingkatkan dengan cara rekayasa genetis. Dalam beberapa penelitian terhadap mikroalga sebelumnya, rekayasa genetis bisa meningkatkan lipid hingga 50 persen. "Tapi penelitian itu bukan bertujuan mencari bioenergi," ucap Mujizat.



Mikroalga merupakan tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan C02 untuk keperluan fotosintesis. Selain itu, C02 dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas. Keberadaan mikroalga sangat membantu dalam pencegahan terjadinya pemanasan global.C02 dari industri daripada terbuang begitu saja lebih baik ditampung dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroalga ini



Terdapat empat kelompok mikroalga yang sejauh ini dikenal di dunia, yakni diatom (Bacillariophyceae), gang-gang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae). Keempat kelompok mikroalga tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi. Di Indonesia sendiri ada ratusan jenis mikroalga.



Mujizat melakukan penelitian kandungan senyawa bioaktif mikroalga yang ideal sebagai bahan baku bioenergi, antara lain dari jenis chlorella dan dunaliella. Keduanya memiliki kan-dungan lemak tinggi, adaptif terhadap perubahan lingkungan, dan cepat laju pertumbuhannya. Chlorella memiliki kandungan lemak 14 hingga 22 persen dan karbohidrat 17 persen. Dunaliella memiliki kandungan lemak 6 persen dan karbohidrat 32 persen.



Dalam penelitian lain diketahui bahwa minyak mentah mikroalga (crude alga oil) ternyata mengandung isochrysis galbana (20-35 persen) dan nanno-chloropsis oculata (31-68 persen). "Jadi, yang besar adalah jenis nano, karena memiliki kandungan lemak yang tinggi. Ini sangat menggembirakan," ujar Mujizat.

(From : http://www.greenmining.or.id)

Scientists developing clean energy systems from micro-algae

An international consortium established by an Australian scientist is developing a clean source of energy that could see some of our future fuel and possibly water needs being

Associate Professor Ben Hankamer, the Institute for Molecular Bioscience (IMB) at The University of Queensland, has established the Solar Bio-fuels Consortium which is engineering green algal cells and advanced bio-reactor systems to produce bio-fuels such as hydrogen in a CO2-neutral process.

“The development of clean fuels to combat climate change and protect against oil price shocks is an urgent challenge facing our society,” said Associate Professor Hankamer, who co-directs the Consortium with Professor Olaf Kruse from the University of Bielefeld in Germany.

“Many countries are already aiming to replace 10 to 20 percent of their existing energy production capacity with CO2-neutral energy systems by 2020. But this is very likely not nearly enough.

“Some reports indicate that 50-66 percent of current energy production capacity may have to be CO2-free by 2020 to avoid the worst effects of climate change. This will be very hard to achieve and we need new technologies to do so.”

Fuels make up about two-thirds of the energy market, yet most low-CO2 emission technologies, such as nuclear power and clean coal technology, target the electricity market. In contrast, the solar bio-hydrogen process uses solar-powered bioreactors filled with single-celled algae to produce hydrogen from water.

Algae naturally capture sunlight and use its energy to split water (H2O) into hydrogen and oxygen, however this process is not efficient enough to make it commercially viable.

The Consortium uses this natural reaction, but is developing ways of enhancing its efficiency to a level where the process will be economically viable. This will be done with the help of a $286 000 Australian Research Council grant received last week.

“We have conducted detailed feasibility studies that show that, once key technical milestones are overcome, this technology could achieve economic viability, which will increase further with the introduction of carbon trading schemes and the predicted rise in the oil price,” Associate Professor Hankamer said.

“We have focused on micro-algae as a source of hydrogen because they have several advantages over traditional bio-fuel crops.”

One major advantage, especially in drought-stricken countries like Australia, is that hydrogen can be produced from salt water. Marine and salt-tolerant algae can extract hydrogen and oxygen from seawater and on combustion these gases produce fresh water and electricity, which can be fed into the national grid. Consequently, clean energy production can theoretically be coupled with desalination.

This is by no means the only advantage. One of the current concerns about traditional bio-fuel crops is that they will compete with food production for arable land and water. In contrast, algal bioreactors can be placed on non-arable land and use much less water than conventional bio-fuel crops.

“This opens up new economic opportunities for arid regions and eliminates competition with agricultural crops or rainforest regions which are increasingly being used to plant oil palms for bio-diesel production,” Associate Professor Hankamer said.

“Algae also have a very short life cycle and can be harvested every one to ten days rather than once or twice a year, increasing yield.”

One other major benefit of the hydrogen production process is that it absorbs CO2.

“We are therefore starting to investigate whether our hydrogen producing systems can be linked to conventional power stations to sequester CO2 which would otherwise be released into the atmosphere”, said Associate Prof Hankamer.

(From: http://www.physorg.com )


For more information on the Consortium please visit http://www.solarbiofuels.org .

Energi Terbarukan

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Bahwa BBM kini mahal, tidak ada orang yang membantah. Tahun 1997, seorang PNS gol III-A berpenghasilan 350.000 Rupiah. Kecil memang, tapi ini cukup untuk membeli 500 liter premium yang seliter hanya Rp. 700. Kini, ketika premium yang sama seliter Rp 4500,-, meski gaji PNS III-A sekitar Rp. 1 juta, yang didapat hanya 222 liter premium.

Mahalnya BBM terjadi karena energi ini memang terbatas, sedangkan konsumsi dunia terus naik. Ini juga fakta yang tidak bisa dibantah. Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu ketika minyak mereka akan habis. Untuk itulah mereka merasa perlu mengembangkan nuklir.

Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global. Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata. Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986. Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika ”bermain-main” dengan PLTN agak mengkhawatirkan.

Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas. Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor. Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan.

Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan. Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui. Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut.

Energi surya adalah energi yang terluas aplikasinya, baik langsung maupun tak langsung. Yang langsung adalah berupa panas (misalnya untuk menjemur pakaian atau hasil pertanian) atau dikonversi ke listrik melalui sel-surya (solar-cell) dan kebun-surya (solar-fram). Sel-surya menggunakan silikon yang langsung mengubah cahaya menjadi listrik. Bahan ini relatif mahal karena memproduksinya perlu teknologi tinggi yang dipatenkan. Efisiensinya juga masih rendah. Adapun ladang-surya biasanya menggunakan satu lapangan cermin untuk memantulkan sinar matahari ke suatu fokus, yang di situ air dipanaskan sampai menguap, dan uap ini dipakai memutar turbin generator listrik.

Cara lain pemanfaatan surya adalah melalui turunannya berupa energi air, angin, gelombang laut, perbedaan panas laut dan bahan nabati.

Energi air diambil langsung misalnya untuk menghanyutkan kayu atau dengan kincir air penumbuk padi, atau untuk pembangkit listrik dengan PLTA, atau dalam ukuran kecil disebut PLTM – Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Ibu Tri Mumpuni berhasil menerangi 60 desa dengan PLTM yang dibuat bersama masyarakat (Kompas 15/7/2007).

Energi angin (atau disebut juga energi bayu) diambil secara langsung misalnya dengan kapal layar atau kincir angin, baik yang langsung untuk menggiling gandum seperti di Belanda, atau untuk menghasilkan listrik. Beberapa negara maju punya ”kebun-angin” (wind-farm), yakni lahan luas tempat ratusan kincir angin penghasil listrik (PTLB). Lahan ini biasanya ditaruh di tepi pantai, tempat angin bertiup kencang secara konstan. Indonesia yang bergaris pantai terpanjang di dunia jelas memiliki potensi yang luar biasa.

Demikian juga dengan gelombang laut yang terjadi antara lain oleh angin. Dengan alat yang tepat, gelombang laut dapat dikonversi menjadi energi. Hanya saja lokasinya tergantung topografi pantai. Pertimbangan serupa juga untuk pasang surut, yang muncul dari interaksi bumi-bulan.

Perbedaan panas laut di permukaan dan kedalaman juga dapat untuk membangkitkan listrik dengan apa yang disebut Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), yakni dengan zat yang dapat diuapkan dengan beda suhu seperti itu.

Yang termenarik saat ini adalah energi nabati (bioenergy). Hal ini karena energi nabati adalah energi kimia, yang dapat disimpan dan praktis untuk keperluan transportasi. Energi lain, termasuk nuklir, tidak memiliki sifat seperti ini.

Energi nabati dihasilkan dari fotosintesis yang kemudian melalui rantai makanan dibawa ke energi akhir. Secara filosofis, energi hewan atau manusia adalah nabati. Bahan bakar fossil (minyak dan batubara) pun adalah energi nabati yang terpendam jutaan tahun. Namun kalau orang bicara bioenergy, umumnya yang dimaksud adalah kayu bakar, bahan nabati yang dibuat bahan bakar cair (biofuel) atau gas methan hasil pembusukan limbah organik (biogas). Biofuel yang didesain untuk mesin diesel disebut biodiesel. Dan biodiesel yang dicampur solar olahan minyak bumi disebut biosolar.

Saat ini pemerintah menggalakkan tanaman jarak pagar (Jatropa) untuk biofuel. Kandungan minyak dalam jatropa adalah sekitar 1400 liter/hektar/tahun. Kandungan ini cuma seperempat kelapa sawit (6000 liter/hektar). Pantas ada dugaan bahwa langkanya minyak goreng akhir-akhir ini karena sebagian dijual sebagai bahan biodiesel.

Jika energi nabati diharapkan memenuhi kebutuhan sehari-hari menggantikan minyak bumi (sekitar 1,2 juta barrel/hari atau 69 Milyar liter/tahun), maka diperlukan lahan 49 juta hektar. Sayangnya dari 107 juta ha lahan pertanian Indonesia, lahan kritisnya cuma 21,9 juta ha (BPS 2003)!

Tak heran, sebagian orang keberatan untuk menanam jarak pagar dan memilih menanam palawija atau hortikultura. Kalaupun lahan kritis dianggap berpeluang, maka ada masalah teknis di lapangan ketika seorang petani ingin mengolah lahan yang luas dan sulit diakses. Di samping itu terkadang masih ada persoalan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut, sekalipun terkategori lahan kritis. Kalaupun akhirnya jadi menanam, proses pasca panen dan penjualan minyak jarak juga masih tanda tanya.

Sebenarnya ada bahan nabati yang lebih efisien yaitu mikroalga. Tanaman mikroorganik ini sangat efisien hidup di kawasan tropis, baik pada air tawar maupun air laut. Dari satu hektar tanaman mikroalga dengan teknik raceway ponds atau photobioreactor dapat dihasilkan sekitar 58.000 liter minyak dengan asumsi hanya 30% dari biomassanya yang mengandung minyak! (Chisti, 2007). Selain itu masa panennya juga jauh lebih singkat.

Karena itu mikroalga sebagai alternatif menjadi sangat menarik untuk dikembangkan. Sayangnya saat ini baru Puslit Bioteknologi LIPI di Cibinong yang mengembangkan.

Semestinya, demi kemandirian energi kita di masa depan, umat Islam bekerja keras menghemat energi sekaligus mengembangkan sumber energi terbarukan. Masalah umat Islam tidak hanya sekedar kemaksiatan atau pemurtadan. Persoalan produksi dan distribusi energi hakekatnya adalah masalah umat Islam juga.

Dari : http://famhar.multiply.com/journal/item/86